Evaluasi China-ASEAN Free Trade Agreement

Menurut teori perdagangan international, perdagangan antar negara yang tanpa hambatan berpeluang memberi manfaat bagi masing-masing negara melalui spesialisasi produksi komoditas yang diunggulkan oleh masing-masing negara tersebut. Namun dalam kenyataannya paling tidak dari penelitian empiris dengan semakin terbukanya suatu perekonomian tidak serta merta menciptakan kemakmuran bagi negara-negara yang terlibat.

Guna memperkuat dan meningkatkan kerja sama ekonomi, meliputi perdagangan dan investasi, negara anggota ASEAN dan China sepakat membuat perjanjian perdagangan bebas. Ratifikasi terkait kerja sama itu tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004.

Kerja sama ekonomi ASEAN-China diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara masing-masing. Guna mewujudkan mimpi besar itu, disepakati untuk mengurangi hambatan- hambatan perdagangan sehingga tercipta perdagangan dengan biaya lebih rendah. Selain itu, juga disepakati untuk meningkatkan perdagangan dan investasi intra-regional serta meningkatkan efisiensi ekonomi. Dengan berlakunya ACFTA berbagai pengamat memprediksi bahwa produk-produk yang ekspornya akan meningkat adalah kelompok produk pertanian, antara lain kelapa sawit, karet dan kopi. Kemudian produk yang diprediksi akan terkena dampak negatif adalah produk yang pasarnya di dalam negeri, antara lain garmen, elektronik, sektor makanan, industri baja/besi, dan produk hortikultura. Kekhawatiran terhadap membanjirnya produk dari China pasca implementasi ACFTA timbul karena produk China selain dikenal murah harganya juga sudah banyak beredar di Indonesia sebelum implementasi ACFTA. Pendapat tentang dampak negatif dari ACFTA juga telah banyak dilontarkan oleh berbagai pihak dan arus menentang kesepakatan ACFTA juga telah dilakukan oleh kalangan pelaku usaha.

Skema perdagangan bebas antar negara yang digadang-gadang pemerintah akan memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia ternyata belum menunjukkan hasilnya. Kesempatan waktu dari disepakatinya perjanjian sampai dengan terealisasinya perdagangan bebas ternyata tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah untuk mempersiapkan perekonomian domestik dalam menghadapi perdagangan bebas.

Entah apa yang ada di benak pemerintah ketika menyepakati perdagangan bebas ASEAN dan China. Memang berdasarkan teori klasik perdagangan bebas akan memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak. Namun pada penerapannya skema tersebut tidak pernah memberikan keuntungan bagi negara berkembang. Yang diuntungkan dari adanya perdagangan bebas hanyalah negara-negara maju yang mempunyai keunggulan dari negara-negara berkembang.

Tidak adil jika negara berkembang yang sedang mengejar pertumbuhan dan penuh dengan problem pembangunan harus dihadapkan head to head dengan negara maju yang mempunyai keunggulan dalam industri masal. Negara berkembang hanya akan dijadikan sabagai target pasar untuk produk-produk dari negara maju. Tingkat efisiensi yang tinggi dan teknologiyang memadai menjadikan negara maju menggelontor pasar negara berkembang dengan produk-produk murah dan berkualitas. Hal inilah yang akan mematikan industri dalam negeri.

Masalah-masalah negara berkembang yang menjadi peluang bagi negara maju untuk menjajah pasarnya adalah:

1. Teknologi yang masih rendah.

2. Tingkat efisiensi yang masih rendah menjadikan cost of production tinggi sehingga menjadikan harga barang tinggi.

3. Perilaku masyarakat yang konsumtif menjadi target pemasaran produk negara maju.

4. Daya tukar mata uang domestik yang lemah juga menjadi faktor penghambat produksi.

 

Hal-hal di ataslah yang menjadi kelemahan negara berkembang ketika harus menghadapi perdagangan bebas. Sangat sulit untuk bersaing dalam perdagangan bebas sementara di sisi lain pada saat yang bersamaan juga harus mengejar stabilitas perekonomian. Perdagangan bebas yang ada malah berdampak negatif. Perdagangan Indonesia dengan China mengalami defisit. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, dari Januari hingga Mei 2010, defisit perdagangan RI-China mencapai 2,11 miliar dollar AS. Sepanjang Mei 2010, Indonesia menderita defisit hingga 530 juta dollar AS.

Awal 2011, genap setahun dimulainya pelaksanaan pasar bebas ASEAN-China alias ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Hasilnya, serbuan barang impor terutama dari China membanjiri pasar domestik kita. Tak pelak, ACFTA pun jadi pukulan telak bagi Indonesia lantaran defisit neraca perdagangan terhadap China semakin besar.

Data lain yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa sepanjang Januari-November 2010, neraca perdagangan sektor non-migas Indonesia dengan China mengalami defisit US$ 5,32 miliar. Jumlah ini jauh lebih besar dibanding periode sama 2009 yang sebesar US$ 4,29 miliar.

Jika Indonesia tidak ingin babak belur dan menjadi jajahan produk-produk China, maka pemerintah harus segera mengevaluasi skema perdagangan ACFTA. Indonesia tak punya pilihan selain segera menaikkan daya saing industri dalam negeri agar tidak kian tergilas dalam era ACFTA. Sebab bukan hanya dengan China, perdagangan Indonesia juga defisit terhadap sejumlah negara ASEAN. Dengan Thailand, misalnya, pada Januari-November 2010 neraca perdagangan kita defisit US$ 3,12 miliar. Sementara dengan Singapura defisit US$ 460 juta.

Beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah dalam menghadapi kondisi negatif ACFTA adalah:

1. Restrukturisasi skema perdagangan bebas ASEAN-China.

2. Proteksi terhadap pasar domestik dengan menetapkan standar untuk barang-barang tertentu.

3. Meningkatkan produksi dalam negeri, terutama untuk produk-produk olahan.

4. Melakukan kebijakan substitusi impor untuk komoditi tertentu.

5. Merubah arah industrialisasi berbasis pertanian.

6. Meningkatkan ekspor produk-produk unggulan.

 

Satu hal lain yang juga harus menjadi perhatian pemerintah adalah kekuatan lobi politik atau daya tawar pemerintah dalam deal-deal politik tingkat internasional. Selama ini wakil pemerintah yang menjadi delegasi dalam satu perundingan seringkali hanya mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan pihak lain. Belum terlihat satu bargaining position yang kuat ketika mengikuti perundingan kerjasama dengan negara-negara lain. Bahkan dengan negara tetangga yang sama-sama berstatus negara berkembang, Indonesia seolah kehilangan kekuatan negoisasi. Padahal pada dekake 80-an Indonesia bersama Jepang dan Singapura menjadi kekuatan ekonomi di kawasan Asia yang terkenal dengan sebutan Macan Asia.

Banyak hal yang diindikasikan menjadi penyebab lemahnya daya lobi pemerintah. Di antaranya adalah besarnya kepentingan pihak asing yang mengintervensi pemerintah. Hal ini bisa terjadi karena mereka juga mempunyai peran yang signifikan dalam kegiatan perekonomian, terutama melalui investasi dan penanaman modal asing. Inilah konsekuensi dari ketidakmandirian negara dalam hal modal, salah satu elemen fundamental dalam pembangunan. Jika negara tidak bergantung terlalu banyak dari modal asing dalam pembangunannya, pastinya pemerintah akan bisa lebih independen dalam menentukan kebijakan luar negerinya.

Tentunya pemerintah harus lebih mempertimbangkan loss & benefit ketika terlibat dalam satu bentuk kerja sama dengan pihak manapun. Seperti dalam ACFTA saat ini ketika terlihat tidak memberikan keuntungan bagi negara, maka pemerintah harus secepatnya mengevaluasi serta mengambil langkah-langkah taktis dan strategis agar tidak terjebak dalam skema yang merugikan ini.

Wallahu a’lam bisshawab.

 

 

Referensi:

Budiman Hutabarat, Analisis Kesepakatan Perdagangan Bebas Indonesia-China dan Kerjasama AFTA serta Dampaknya Terhadap Perdagangan Komoditas Pertanian Indonesia, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian danPengembangan Pertanian Departemen Pertanian: 2007

Firman Mutakin dan Aziza Rahmaniar Salam, Dampak Penerapan ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) Bagi Perdagangan Indonesia, Economic Review No. 218 Desember 2009 Nobel dan Mundell yang Kapabel, Esai-Esai Nobel Ekonomi, Kompas, Jakarta:2007

Hadi Soesatro, Tinjauan Politik Ekonomi-Moneter Internasional dalam Kaitannya dengan Kerjasama Ekonomi dan Keuangan Internasional, CSIS, 2005

Hermas E. Prabowo, Menghitung Untung dan Rugi ACFTA, http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/01/19/09585843/Menghitung.Untung.dan.Rugi.FTA.ASEANChina/all

http://klasik.kontan.co.id/nasional/news/55640/Defisit-dagang-dengan-China-kian-membesar

http://www.metrotvnews.com/metromain/newsvideo/2010/12/03/118090/BPS-Defisit Perdagangan-Indonesia-China-Naik

Latif Adam, ACFTA Dalam Perspektif Hubungan Dagang Indonesia China, http://inspirasitabloid.wordpress.com/2010/03/19/acfta-dalam-perspektif-hubungan-dagang-indonesiachina/

Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, Bahan Ajar Ekonomi Pembangunan, STEI Tazkia, hal. 19

Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, Indonesia, Globalisasi Perekonomian & Kejahatan Ekonomi Internasional, FEUI, 2009

Ririn Radiawati Kusuma, Semester Pertama 2010, Neraca Perdagangan Indonesia – China Defisit, http://www.mediaindonesia.com/read/2010/08/08/159557/4/2/Semester-Pertama-2010-Neraca-Perdagangan-Indonesia-China-Defisit

Tentang saepudin

Anda boleh mempublikasikan kembali tulisan di atas pada website atau blog dengan catatan : 1. Anda harus mencantumkan sumber tulisan dengan link aktif menuju https://saepudinonline.wordpress.com 2. Anda tidak mengubah baik sebagian atau pun keseluruhan tulisan TERMASUK SEMUA LINK YANG ADA DI DALAM ARTIKEL harus tetap ada dan aktif. Mari kita saling menghargai sebuah karya... Terima kasih atas kunjungannya. Mohon beri komentar atau saran untuk menyempurnakan website ini. Salam sukses selalu..
Pos ini dipublikasikan di ACFTA. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar